Dzikir ditinjau dari segi bahasa (lughatan)
adalah mengingat, sedangkan dzikir secara istilah adalah membasahi lidah dengan
ucapan-ucapan pujian kepada Allah.[1]
Secara etimologi dzikir berasal dari kata “zakara” berarti menyebut,
mensucikan, menggabungkan, menjaga, mengerti, mempelajari, memberi dan nasehat.
Oleh karena itu dzikir berarti mensucikan dan mengagungkan, juga dapat
diartikan menyebut dan mengucapkan nama Allah atau menjaga dalam ingatan
(mengingat).[2]
Dzikir merupakan ibadah hati dan lisan yang tidak mengenal batasan waktu.
Bahkan Allah menyifati ulil albab, adalah mereka-mereka yang senantiasa
menyebut Rabnya, baik dalam keadaan berdiri, duduk bahkan juga berbaring. Oleh
karenanya dzikir bukan hanya ibadah yang bersifat lisaniyah, namun juga
qalbiyah. Imam Nawawi menyatakan bahwa yang afdhal adalah dilakukan bersamaan
di lisan dan di hati. jika harus salah satunya, maka dzikir hatilah yang lebih
di utama. Meskipun demikian, menghadirkan maknanya dalam hati, memahami
maksudnya merupakan suatu hal yang harus diupayakan dalam dzikir.[3]
Di dalam al-Qur’an, Allah menegaskan berkenaan dengan dzikir yaitu: Artinya: ‘Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman’. (QS. an-Nisa:103).
Artinya: ‘Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung’. (QS. al-Jumu’ah: 10).
Artinya: ‘(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram’. (QS. ar-Ra’d : 28).
Oleh karenanya, mulai hari ini, marilah
kita isi hidup dan kehidupan kita dengan banyak berdzikir kepada Allah SWT serta pula memperbanyak shalawat kepada
junjungan Nabi Muhammad SAW agar setiap hari dalam hidup dan kehidupan kita,
kita selalu tersambung dengan Rasulullah dan Allah SWT.
[1] Ismail Nawawi, Risalah
Pembersih Jiwa: Terapi Prilaku Lahir & Batin dalam Perspektif Tasawuf
(Surabaya: Karya Agung Surabaya, 2008), 244.
[2] Hazri Adlany, et al, al-Qur’an Terjemah Indonesia (Jakarta: Sari Agung,2002),
470
[3] Ismail Nawawi, Risalah
Pembersih Jiwa: Terapi Prilaku Lahir & Batin dalam Perspektif Tasawuf, 244.
0 Komentar