KITAB PUTIH 03 ~ SYAHADAT DALAM TINJAUAN JALAN SYARI'AT

Syahadat merupakan rukun Islam yang pertama yang menjadi kunci pembuka untuk rukun Islam lainnya. Sebagaimana Nabi menyebutkan yaitu:

حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ سُعَيْرِ بْنِ الْخِمْسِ التَّمِيمِيِّ عَنْ حَبيِبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ وَحَجِّ الْبَيْتِ

Ibnu Abu Umar menceritakan kepada kami. Sufyan bin Uyainah menceritakan kepada kami dan Su'air bin Al-Khims At-Tamimi dari Habib bin Abi Tsabit dan Ibnu Umar. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Islam ini dibangun atas lima perkara (Rukun) yaitu syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji ke baitullah". (Shahih: Iman Abu Daud).

Adapun kalimat syahadat yang sebagian besar dituliskan pada kitab atau yang diajarkan oleh jalan syari’at yaitu:

اَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إَلَّا الَّلهُ وَ اَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الَّلهِ 

(Aku Berbaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah) 

Makna syahadat pada jalan syari’at ini adalah bahwa diri kita mengakui dengan lisan dan hati bahwa tiada Tuhan yang disembah selain Allah SWT. Apapun yang disembah selain dari pada Allah merupakan perbuatan batil karena selain-Nya tidak memiliki hak untuk disembah.

Dalam pandangan jalan syari’at bahwa syahadat itu dibagi menjadi dua rukun yaitu:

1.  Nafyu (Meniadakan). Meniadakan semua yang disembah kecuali Allah SWT dan inilah makna dari kata (La ila Haa).

2.     Itsbat (Menetapkan). Menetapkan penyembahan (Ibadah) hanya kepada Allah sahaja, tiada sekutu bagi-Nya dalam penyembahan dan kerajaan-Nya dan inilah makna dari kata (Illa Allah).

Pengertian di atas sudah mendekati dari pada syahadat yang dimaksudkan di dalam jalan hakikat. Akan tetapi sebagian besar orang Islam memahami bahwa dalam syahadat itu adalah antara hamba (Penyembah) dan Tuhan (Disembah) berpisah.  Hamba yang lemah menyembah kepada Tuhan yang Maha Kuat. Hamba yang kecil menyembah kepada Tuhan yang Maha Besar (Allahu Akbar). Oleh karenanya jika ditelusuri dengan benar-benar cermat, disinilah letak titik kelirunya, dimana bertentangan dengan Ahad atau Esa atau Tunggalnya Allah itu, yaitu Tunggal dalam Dzat-Nya, Sifat-Nya, Asma’-Nya, Af’al-Nya. Tunggal pula dalam Qudrat-Nya, Iradat-Nya, Ilmu-Nya, Hayat-Nya, Sama’-Nya, Bashar-Nya dan Kalam-Nya.

Sebagian besar orang Islam yang beranggapan bahwa ia memiliki kekuatan (kuasa sendiri) yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya dan Allah tidak bertanggungjawab lagi kepada dirinya, sehingga dia merasa bahwa dia sendirilah yang melakukan penyembahan (ibadah) tersebut dengan harapan balasan pahala sebagai jalan untuk masuk ke dalam surganya Allah itu. Ketika melihat zahir dirinya yang terbatas, maka ia sebagai manusia yang lemah tidak berdaya jika dibandingkannya dengan Allah yang Maha Kuat lalu bersaksi ia bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah SWT.

Pemahaman yang seperti inilah yang sebagian besar dipahami dan diucapkan banyak orang Islam bahkan berani pula mereka menyatakannya dalam ceramah-ceramahnya dikelayak ramai, bahwa ia diberi karunia oleh Allah dan Allah tidak lagi ikut campur dengan kehidupan-nya dengan berasaskan pada ayat al-Qur’an pula yaitu:

3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !ÇÊÊÈ

Artinya: ‘Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri’ (QS. Ar-Ra’d: 11).[1]

Ayat ini hendak kita sebutkan bagaimanapun pemahamannya dari jalan hakikat, mereka tetap tidak menerima dan tetap juga bersikeras berpahaman bahwa diri mereka sendirilah yang akan merubah keadaan mereka bukan campur tangan Tuhan di dalamnya. Oleh karena itu, kita tunda dahulu mengkaji tentang ayat ini, kita selesaikan kajian ibadah ini secara syari'at hakikat, kelak pada kitab penutup kajian ini kita akan uraikan maksudnya setelah kita memahami syahadat, shalat, puasa, zakat dan haki dari jalan syari'at dan hakikat.


By. Shabri Saleh Anwar bin Anwar Bujang


[1] Berkenaan dengan makna dari ayat ini dari kacamata hakikat, eloklah baca buku (Membujur Lalu Melintang Patah ‘Jaya di Dunia, Sempurna di Akhirat’).


Posting Komentar

0 Komentar